Secara makro, peran pemuda dibidang politik semakin lama semakin melemah. Karena konotasi politik dalam pola pikir anak muda yang dipertontonkan di media-media sosial cenderung dalam artian “persepsinya kotor”. Sehingga ketertarikan anak muda dalam membicarakan politik berkurang karena menganggap politik sesuatu yang tidak baik. Sedangkan, sesuai dengan hasil penelitian LIPI tahun 2019 30 – 40% pemilih merupakan pemilih milenial.
Fatima Nur Warisma, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP PGRI Pacitan menanggapi hal tersebut melalui Dialog Khusus yang bertajuk Politik Anak Muda di Era Digital yang disiarkan langsung oleh Jitu Televisi Pacitan (JTV) bersama Bakti Sutopo selaku host dan Arif Setyo Budi selaku politikus muda Kabupaten Pacitan pada Senin, (04/12/2023) malam.
“Menurut saya, dilihat dari beberapa hal lingkungan-lingkungan bahkan khususnya mahasiswa yang ada di STKIP itu benar. Bahwasanya banyak mahasiswa bahkan pemuda-pemuda yang ada di luar sana itu apatis terhadap politik. Jadi, memang tidak bisa dipungkiri juga karena kita berdampingan dan hidup dengan gadget yang mana notabenenya di situ kita tidak bisa terlepas,” terang Fatima.
Sebagian mahasiswa yang sudah terlalu nyaman menggunakan gawai, tidak memanfaatkannya untuk mencari berita-berita akan tetapi hanya untuk bersenang-senang saja. Hal itu harus dikoreksi bahwasanya sebagai seorang mahasiswa harus lebih melek terhadap politik.
“Kalau dari saya sendiri yang kebetulan di sini terpilih menjadi presiden mahasiswa atau presiden BEM STKIP PGRI Pacitan memang benar-benar harus mengevaluasi diri untuk melek terhadap politik itu. Apalagi politik ini sudah mengarah pada pemilu tahun 2024 nanti. Jadi kita sebagai mahasiswa khususnya anak muda itu harus benar-benar melek terhadap apa yang ada di kondisi kita saat ini khususnya di Kabupaten Pacitan,” ujarnya.
Dirinya mengaku, sebagai seorang pemuda sudah mulai berperan aktif dibidang politik melalui ruang-ruang yang sudah tersedia di kampusnya. Melalui beberapa organisasi sekaligus dari salah satu mata kuliah yang pernah ditempuhnya.
“Menurut saya, masing-masing organisasi yang saya ikuti di situ terdapat diskusi-diskusi yang berbeda yang secara tidak sadar sudah diajari berpolitik,” tandasnya.
Selain itu, sebagai mahasiswa ia juga menegaskan guna membangkitkan daya kritis harus dimulai dari individu masing-masing dengan memaksakan diri untuk berani membuka buku dan memperbanyak literatur.
“Kalau kita ingin menyelesaikan masalah di sekitar kita, ya harus mengoreksi diri kita sendiri mampu atau tidak untuk menyelesaikan sebuah masalah. Harus benar-benar mawas diri. Menurut saya cara paling efektif meningkatkan daya kritis ya mau membaca literatur yang ada, mengikuti perkembangan-perkembangan yang ada khususnya di Pacitan maupun di negara kita,” imbuhnya.
Bagi Fatima, agar tidak larut dalam digitalisasi sebagai anak muda langkah yang paling strategis untuk dilakukan yakni dengan mau belajar sekaligus berteman baik dengan teknologi. Harus mampu memilah dan memilih berita maupun informasi karena banyak media-media sosial utamanya akun-akun fakeĀ yang tidak bertanggungjawab menyebarkan berita hoak. Bahkan berita-berita yang berkaitan dengan politik saat ini.
“Bagaimana kita mau belajar tentang teknologi sendiri. Karena ke depannya kita akan bersanding dengan teknologi. Di dalam ilmu teknologi banyak permainan yang digunakan, banyak pemuda yang dibohongi oleh berita-berita itu sendiri. Sebagai pemuda utamanya mahasiswa harus menggali dulu apakah berita yang kita lihat benar,” pungkasnya.